Transformasi Tanpa Henti Ericsson
Hide Ads

Laporan dari Stockholm

Transformasi Tanpa Henti Ericsson

Ardhi Suryadhi - detikInet
Sabtu, 08 Nov 2014 13:13 WIB
Kantor pusat Ericsson (ash/detikINET)
Stockholm -

Berawal dari toko reparasi telepon dan sekarang menjadi salah satu raksasa di industri telekomunikasi. Itulah cerita Ericsson. Dan babak baru perusahaan asal Swedia ini pun tak lantas berhenti sampai di sini, melainkan terus bertransformasi.

CEO Ericsson Hans Vestberg mengungkapkan, Ericsson saat ini diperkuat dengan 114.000 karyawan, dimana 25.000 di antaranya bekerja di divisi R&D dan 64.000 di bagian services.

Ada 35.000 paten yang dipegang oleh perusahaan yang berkantor pusat di Stockholm ini. Dengan customer di 180 negara, mereka meraup net sales USD 35 miliar pada tahun 2013 kemarin.



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sedangkan dari sisi pelanggan yang berparner dengan operator, ada 1 miliar pelanggan yang kami kelola, dan 50% trafik smartphone di jaringan LTE juga ditangani oleh jaringan Ericsson," kata Hans, saat berbicara di Ericsson Business Innovation Forum 2014 di Stockholm, Swedia.

"Namun apa setelah itu?" ujarnya.

Saat ini, industri telekomunikasi yang awalnya menjadi core bisnis Ericsson telah berubah, termasuk juga klien besar mereka -- yakni operator yang juga mengalami perubahan. Otomatis, hal ini juga harus bisa dihadapi oleh Ericsson dengan melakukan transformasi terhadap bisnisnya.

Dalam jangka pendek ada tiga fase yang disebut Hans sangat kritikal bagi Ericsson. Yakni di periode 2009-2013 yang menjadi periode booming ponsel dan modem, 2012-2017 dimana isu konsolidasi di industri telekomunikasi mengemuka, serta 2014-2020 yakni ketika ekspansi ke area bisnis baru.

Menyambung penjabaran Hans, Chief Strategy Officer Ericsson Rima Qureshi memaparkan berbagai strategi transformasi bisnis Ericsson di ketiga fase tersebut.



Jika dilihat ada tiga aksi pokok yang kemungkinan bakal diambil Ericsson di masing-masing fase yakni strategi akusisi, partnership dan aliansi, serta venture investments.

"Tidak ada standar baku untuk memilih strategi yang mana (akuisisi, partnership atau venture investment-red.) namun lebih dilihat dari setiap kondisi," kata Rima.

Jika memungkinkan bisa menjalin investasi dari awal, namun jika memlih cara cepat dan dianggap lebih efisien maka akuisisi menjadi hal yang patut untuk dipertimbangkan.

Transformasi bisnis Ericsson pun telah berubah. Dari yang dulunya lebih menggantungkan pemasukan dari penjualan hardware, maka belakangan justru berbalik.



Bisnis services dan software jadi ujung tombak Ericsson. Dimana sampai tahun 2013, proporsinya mencapai 66% sedangkan hardware menjadi tinggal 34%.

"Transformasi pasti terjadi. Dan kami mengambil alih sebagian besar proses transformasi yang terjadi di industri," Hans menandaskan.

(ash/rou)