Keprihatinan mereka didasarkan pada realita, bahwa aksesibilitas belum merata -- kesenjangan antara kota dan desa masih jauh dan arahnya makin melebar.
Ini belum terhitung dengan masalah kualitas, di mana Indonesia termasuk dalam kelompok negara-negara yang digolongkan dengan TIK atau ICT yang tidak berkualitas. Kita ada di urutan 105 dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih buruk lagi, aplikasi maupun lokal konten kita masih sangat terbatas dan dikuasai oleh konten asing. Sebut saja Google, Facebook, WhatsApp, dll. Terakhir, yang lebih menyedihkan lagi peran pemerintah sangat minim.
Sesungguhnya pemerintah melalui Kemenkominfo memang sudah berbuat maksimal. Namun faktanya pembangunan infrastruktur TIK Indonesia masih sangat bergantung pada swasta di mana arah pembangunannya hanya mengikuti arah demand/pasar.
Sehingga pemerintah hanya bertindak sebagai regulator yang pasif, setelah menerbitkan izin perannya menjadi lemah/terbatas. Selain itu, pengaturan sumber daya spektrum frekuensi, sumber daya yang terbatas dan sangat bernilai, relatif belum optimal karena banyak keterbatasan baik di sisi regulasi maupun implementasinya.
Akan tetapi, para pemangku kepentingan itu tidak boleh terlalu pesimis, harus tetap optimis sebagaimana kredo Jokowi-Jk 'Indonesia Hebat', yaitu mengembalikan peran pemerintah, tidak hanya sebagai regulator murni, tapi juga memiliki fungsi-fungsi pembangunan sebagai enabler industri TIK.
Minimal melalui pembangunan infrastruktur pasif seperti Ducting (gorong-gorong); Tower, Genset/Power System, dll. Hal ini akan membuat industri infrastruktur TIK menjadi efisien dan men-drive arah pembangunan, karena menjadi 'Demand Creator' dengan ikut berkontribusi membangun ekosistem TIK, seperti sosialisasi pemanfaatan TIK, ICT literacy, skill enhancement, dll.
Selain itu, membangun Government Network yang merupakan infrastruktur yang terpisah dengan Commercial Network karena memiliki kebutuhan khusus dan perlu dikelola oleh pemerintah sendiri, semisal aspek security, dll.
Sementara fungsi Government Network akan terkonsolidasi dalam berbagai sektor, seperti Kartu sehat, Kartu pintar, e–government, Public Protection and Disaster Relief (PPDR), dll.
Tidak ketinggalan pula kewajiban konsisten dari pemerintah untuk support terhadap pengembangan konten lokal.
Persoalannya sekarang adalah, bahwasanya kehadiran Kabinet Jokowi-JK kini hanya tinggal menghitung hari, maka yang harus menjadi program prioritas di bidang TIK ini adalah mengoptimalkan proyek–proyek USO (Universal Service Obligation), pemanfaatan pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) USO yang besarnya 1,25% dari pendapatan kotor operator telekomunikasi (sekitar Rp 2 triliun/tahun) yang lebih optimal, dalam bentuk:
1. Menyelesaikan backbone serat optik nasional Palapa Ring Project.
2. Menyiapkan infrastruktur TIK di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar pusatnya adalah sekolah (SLTA).
3. Pembangunan tower bersama.
4. Pembangunan Data Center pemerintah beserta fungsi inkubator aplikasi dan konten lokal.
5. Menata ulang struktur industri TIK nasional sehingga kedaulatan pembangunan TIK kembali di tangan pemerintah, melalui revisi UU No. 36 tentang Telekomunikasi beserta aturan turunannya, dan reposisi peran pemerintah baik pusat maupun daerah untuk berperan tidak hanya sebagai regulator tapi juga enabler bagi industri.
*) Penulis, Gatot S Dewa Broto merupakan Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora RI. Sebelumnya ia juga lama menjabat sebagai Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo RI. Tulisan ini merupakan bagian 1 dari 5 tulisan berseri.
(rou/rou)