Otomatisasi Membuat Kita Malas
Hide Ads

Kolom Telematika

Otomatisasi Membuat Kita Malas

- detikInet
Jumat, 21 Mar 2014 08:46 WIB
Ilustrasi (gettyimages)
Jakarta - Marsekal (purn) Chappy Hakin dalam interview di sebuah televisi swasta mengenai hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH730, menyebutkan adanya sindrom ‘automation addiction’ yang terjadi pada pilot di era modern ini. Namun, apakah sindrom serupa dalam dunia IT dapat ditemukan?

Sindrom Otomatisasi dalam IT

Ternyata, sindrom ‘automation addiction’ juga terjadi dalam dunia IT, tentu saja dengan penekanan yang berbeda. Beberapa pakar IT menjelaskan, bahwa baik software developer dan user juga terkena dampak sindrom otomatisasi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Daniel Imbellino, seorang pakar IT, program software otomatis membuat kita terlalu pasif. Dia memberi contoh web design, yang awalnya menggunakan HTML editor yang perlu skill coding, sekarang cukup dengan tools drag and drop yang sederhana.

Dia melanjutkan, simplifikasi tersebut membuat kita tidak memahami apa teknologi yang mendasari tools tersebut.

Sementara itu, Collen Mart, seorang blogger, juga mengkhawatirkan bahwa teknologi canggih justru membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena sudah terlalu malas.

Film Wall-E juga sudah menggambarkan sindrom otomatisasi dengan baik. Di situ digambarkan, manusia menjadi malas, karena robot sudah melayani mereka dalam segala hal.

Ledakan Informasi Tanpa Filter

Keprihatinan para pakar IT, dan contoh dari film Wall-E menunjukkan fatalnya menjadi malas dalam berhadapan dengan teknologi.

Kemalasan bereksplorasi untuk optimasi teknologi, dapat mengakibatkan user tenggelam dalam arus deras informasi tanpa akhir. Seperti terhisap ke dalam pusaran limbo.

Sensor yang tidak optimal, seperti terlihat pada kasus pornografi di Indonesia. Terlalu percaya pada teknologi sensor, tanpa perbaiki sektor pendidikan moral, akan sebabkan user yang penasaran untuk selalu mencari celah.

Kemalasan untuk perbaiki pendidikan kita, akan akibatkan siswa menjadi tidak memiliki filter yang kuat dalam menghadapi pornografi atau penyimpangan di dunia maya lainnya.

Media sosial memiliki fitur yang lengkap untuk lindungi privasi. Namun, kasus kriminal tetap terjadi. User pada umumnya ‘percaya’ begitu saja terhadap setting default suatu aplikasi atau tools.

Kemalasan untuk mengoptimasi setting privasi tersebut, dalam beberapa kasus, memang bisa berakibat fatal.

Quo Vadis Pendidikan IT?

Sesungguhnya, solusi dalam menghadapi kemalasan ini berada dalam pendidikan bagi user. Supaya kemalasan tersebut terhalau, maka menanamkan ‘militansi’ dalam mencari kebenaran menjadi sangat penting.

Kurikulim tematik, yang diterapkan pada pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, diharapkan dapat membuat siswa menjadi lebih aktif dalam menghadapi isu teknologi.

Hal tersebut karena kurikulum tematik lebih banyak mengangkat studi kasus dalam kehidupan sehari-hari, bukan mengajarkan teori yang kurang relevan.

Dalam konteks menghadapi kemalasan dalam berteknologi, siswa sekolah juga seyogyanya dioptimalkan dalam mendalami mata pelajaran yang merangsang motorik dan afektif mereka, misalnya olah raga dan kesenian.

Dengan merangsang kerja sama tim, maka rasa empati dari siswa akan menjadi baik pula. Hal ini akan menjadikan mereka menjadi lebih kritis dalam menghadapi teknologi, yang seakan menjadikan manusia ‘otomatis tanpa jiwa’.

Seperti kata Eric Schmidt, Executive Chairman Google, ‘Matikan komputer anda dan jadilah manusia!’


Arli Aditya ParikesitTentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumni program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Managing Editor Netsains.com; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di facebook, dan www.gplus.to/arli di google+.
(ash/ash)